Selamat datang Dan selamat Membaca di Blog Kobepaibo..!!

Tips Untuk Melintas perbatasan dari Papua ke Papua New Guinea




Jalan raya menuju perbatasan jayapura-png (foto :dk.ist)
Tak pernah terbayangkan bahwa saya dan teman-teman mendapat kesempatan melihat perbatasan di ujung timur Indonesia. Pada hari Sabtu, pak sopir mencari info apakah situasi aman untuk melintas perbatasan, dan setelah tahu kondisi aman, kami bertiga mengunjungi perbatasan. Untuk pergi ke perbatasan yang berjarak sekitar 80 km dari kota Jayapura, ditempuh dalam waktu 1,5 jam, melalui jalan yang berkelok-kelok menembus Tanah Hitam (nama suatu daerah) atau kampung Yosefa, tempat sebagian besar orang-orang yang berasal dari Ujung pandang. Kemudian perjalanan dilanjutkan melalui kampung Nafri, disini pak sopir harus mengendarai mobil dengan hati-hati, karena kalau sampai menabrak babi atau anjing urusannya bisa panjang, karena ganti rugi nya sangat mahal (kata pak sopir dihitung tujuh turunan).
Kampung Nafri yang terletak di Km 9, dulunya dikenal sebagai daerah merah, karena penduduknya banyak. Disini ternak dilepas begitu saja melintasi dan berkeliaran di jalan beraspal mulus. Selanjutnya melalui perkampungan penduduk yang berasal dari Enrekang, yang mata pencahariannya bercocok tanam, antara lain: pinang, sirih, coklat, pisang dan jagung. Penduduk Papua banyak yang makan sirih, namun bukan daunnya seperti di pulau Jawa, yang dimakan adalah buah sirihnya. Banyak sekali ditemui penjual buah sirih dan pinang di pinggir jalan. Kampung Enrekang terlihat dari ciri khas nya rumah berbentuk panggung, kampungnya di sebut Koya Koso.
Selanjutnya ada perkampungan Wamena yang asal usulnya dari suku Wamena, ditandai dari bentuk rumahnya berbentuk Honai. Di dekat kampung ini sudah ada Puskesmas, dan kami melihat orang Wamena sedang berjalan dengan ciri khasnya memakai Noken (tas yang terbuat dari serat) dipunggungnya. Selanjutnya melalui kampung Abepantai, yang penduduknya banyak yang berasal dari daerah Buton, Sulawesi.
Perjalanan mulai memasuki Koya Barat, daerah transmigran dari pulau Jawa, dan sekarang dikenal sebagai penghasil beras. Lahan pertanian di kiri kanan jalan terlihat subur, dan pengolahan lahan telah maju dengan menggunakan traktor bermesin. Lahan pertanian antara lain ditanami padi dan palawija. Terlihat rumah penduduk telah banyak memiliki motor, bahkan mobil dengan parabola bertengger di atas atap rumah. Mobil pada umumnya digunakan untuk mengangkut hasil panen yang dijual di pasar Abepura.
Dari Koya Barat perjalanan memasuki kampung Koya Timur, dipinggir jalan nampak banyak mobil diparkir.  Rupanya tempat pemancingan ikan yang cukup besar, lengkap dengan restorannya. 

Nantinya sekembali dari perbatasan, kami menikmati makan siang disini, dengan embusan angin sepoi-sepoi dan alunan lagu-lagu daerah Papua dan Ambon. Nampak Gereja dan masjid berdampingan.
Melewati pasar Sehito di Muara Tami, ramai pada saat hari Sabtu karena semua penduduk beramai-ramai turun dari gunung. Disini terlihat ada SMK IV dipinggir jalan, sayangnya asrama yang dulunya terlihat megah, telah tak dipergunakan karena rusak.
Perjalanan dilanjutkan melalui kampung Skouw Mabo, yang gedung pendidikannya telah lengkap dari SD s/d SMA. Muridnya banyak yang berasal dari PNG (Papua New Guinea), dengan bahasa pengantar bahasa Inggris. Selanjutnya perjalanan melalui hutan lebat berkelak kelok menanjak.  Setelah melewat jembatan sungai Tami yang terlihat tenang (namun katanya sering banjir), maka terdapat pos pertama di Muara Tami. Mobil harus dibuka kacanya, namun tak perlu berhenti. Mobil hanya berjalan pelan, dan penjaga (kali ini dari Kodam Diponegoro) melambaikan tangan dengan ramah, rupanya pak sopir sering mengantar orang ke perbatasan dan cukup dikenal.
Tak lama kemudian sampai di pos penjaga perbatasan, yang didepannya terdapat 3 (tiga) helipad, dan disebelahnya terdapat pasar perbatasan (istilah disana “kios”)untuk wilayah RI yang ramai dengan orang PNG sedang membeli berbagai keperluan. Kios ini akan ramai terutama hari Jumat, Sabtu, Minggu dan hari Rabu. Kenapa hari Rabu, karena pada hari tersebut kapal merapat didesa Putung dari Vanimo, kota Vanimo merupakan kota terdekat di PNG.
Kami turun untuk melapor , dan tentara yang masih muda-muda tersebut bersedia berfoto bersama kami.  Ternyata perbatasan merupakan wilayah yang terbuka, ada pembatas berupa pagar rendah (setinggi 1, 5 meter) yang membatasi wilayah Indonesia dan wilayah PNG, dan ditengahnya ada daerah terbuka (open space) dengan lebar 5 meter….yang konon katanya tempat pertukaran sandera jika terjadi perang.  Di ujung open space dibangun menara.  Ternyata kami tak perlu melapor ke penjaga PNG untuk melintas ke perbatasan PNG, tetapi orang-orang PNG harus menulis di buku register jika ingin melintas dan berbelanja di pasar wilayah Indonesia. Orang PNG berbahasa Inggris logat Fiji, namun bisa berbahasa Indonesia sedikit-sedikit.

Begitu memasuki wilayah PNG, hujan turun dengan deras, terpaksa kami berteduh dikantor imigrasi PNG. Kami mengobrol dengan Mr. Jeffrey Owen, yang merupakan Customs Border Operation, dan berasal dari kota Vanimo. Saya mencoba membujuknya agar dibolehkan turun ke desa Putung (desa terdekat di wilayah PNG), namun karena banyak orang, Mr. Jeffrey tak berani memberi ijin karena nantinya akan dipertanyakan.  Setelah saling bertukar alamat dan nomor telepon, dan hujan reda, kami menuju ke pasar PNG yang terdiri “hanya” 10 tenda. Yang dijual berupa: topi, payung, kaos, mug(cangkir), makanan kaleng, kain panjang sejenis sarung. Mereka agak sulit diajak transaksi walaupun ramah, dan semua harga bulat, seperti: Rp.25 ribu, Rp.50 ribu, Rp.100ribu, Rp.150 ribu dst nya.
Karena tak membawa paspor, kami hanya melihat kampung Putung yang terletak dipinggir laut dari atas bukit. Orang PNG tak beda dengan orang Papua, hanya lebih tinggi dan lebih berani bertatap muka. Mata uangnya disebut Kina, dan 1 Kina=Rp.3000,-. Orang PNG lebih banyak yang melintasi perbatasan menuju wilayah Indonesia dibanding orang Indonesia yang ke wilayah PNG. Orang Indonesia yang melintas ke PNG adalah orang-orang seperti kami, karena ingin melihat seperti apa perbatasan tersebut. saya sudah membayangkan wilayah berhutan lebat, dengan tentara menjaga diperbatasan lengkap dengan senjata laras panjang…ternyata merupakan daerah terbuka, beraspal mulus, dengan orang2nya yang ramah. Ahh…betapa indahnya perdamaian.
Orang PNG pada umumnya membeli bahan kebutuhan pokok, seperti beras, gula, juga barang elektronik dan bahan sandang. Jujur saja, ternyata bahan kaos di PNG lebih tipis dibanding di pasar wilayah Indonesia, serta harganya lebih mahal. Mereka membawa barang-barang yang dibeli dengan menggunakan kereta dorong, mirip dengan kereta dorong untuk mengangkut bahan bangunan, terbuat dari besi dan umumnya di cat warna hijau. Dari obrolan dengan penjual di kios wilayah Indonesia, mereka rata-rata juga berdagang di pasar Hamadi Jayapura, dan berasal dari Makassar. Mereka menginap di kios Indonesia hanya saat hari ramai, dan pulang kembali untuk berdagang di Hamadi.
Tips:
·         Sepanjang situasi aman, mengunjungi perbatasan sangat mudah. Bila tak ada kendaraan, bisa menyewa Rp.500.000,- sehari diluar bensin. Kendaraan ini banyak terlihat didepan hotel, disarankan pesan melalui hotel agar lebih terjamin keamanannya. Disarankan sekaligus mengunjungi obyek wisata lainnya, karena obyek wisata di Jayapura jaraknya berdekatan, dan dapat ditempuh dalam waktu satu hari.
·         Jangan lupa bawa paspor dan urus Visa agar bisa mengunjungi desa terdekat di wilayah PNG.
·         Untuk makan, bisa mampir di restoran pemancingan Koya Timur, yang berjarak 40 km dari Jayapura, terletak sebelah kiri jalan ke arah perbatasan. Masakan berupa ikan yang langsung ditangkap dari kolam pemancingan. Jika dalam perjalanan kearah Bukit Makatur, dipinggir danau Sentani ada restoran Yougwa yang makannya enak dan harga terjangkau.
                       semoga artikel ini bermanfaat untuk anda yang inginberkunjung..(dk)





Share this post :

Posting Komentar

 
Support : bloggerpapua.idm | Anakcenderawasih | Bloggerpapua.id
Copyright © 2015. KOBEPAIBO - All Rights Reserved
Admin by Enagokobepa
Proudly powered by kobepa