Ketua Pimpinan Cabanng SPKEP SPSI Kabupaten Mimika, Aser (Kemaja Batik Biru) Gobai bersama Menteri Tenaga Kerja, Muhammad Hanif Dhakiri (Kemeja Putih) pada tanggal 28 Februari 2017. (Foto: Dok KM) |
JAYAPURA, KABARMAPEGAA.COM - Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Mimika dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Mimika, Papua, perlu melakukan langkah-langkah kongkit dalam melawan hukum ketenagakerjaan yang dilakukan oleh pihak Pimpinan perusahaan. Hal ini, perlu ada ketegasan dan tindakan sangsi kepada yang melakukan pelanggaran adminstrasi dan hukum pimpinan sesuai dengan peraturan perudang-undang yang berlaku.
Demikian Dikatakan, Ketua Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPKEP SPSI) Kabupaten Mimika, Aser Gobai, Jumat, (10/02/17) Kepada Kabarmapegaa.com.
Selama ini yang terjadi proses perusahaan dalam hal pengoperasian pertambangan di gunung Nemangkawi dan danau Wanagon sudah habis dari bawah tanah wilayah moni sudah lewat dan sekarang memasuki wilayah Suku Mee, bertepatan dengan danau Paniai.
“Ini saatnya kita meluruskan yang selama ini dianggap bengkok oleh pihak-pihak yang tidak ingin aman dan damai. Untuk itu, kita perlu benarkan selama ini yang dinilai salah. Kita sempurnakan selama ini yang belum sempurna dalam satu kesatuan orang asli Papua diufuk timur Indonesia,”tegasnya.
Menurutnya, Tanah Papua ini sudah diberkati oleh Allah pencipta dan ada rahasia Allah diatas Tanah Papua. Tetapi, yang terjadi dan kita lihat persoalan kedepan kan bersama Orang Asli Papua sebagai anak negeri tuan diatas negerinya dan mengasihi sesama masyarakat Indonesia, Asing yang ada diatas tanah Timika dan Papua hidupnya belum aman.
Lanjutynya, PTFI/FM sudah 50 tahun kelola SDA di atas tanah Papua lebih khusus Kabupaten Mimika di bidang pertambangan terbesar di dunia berapa nilai yg telah hasilkan untuk Amerika dan 24 Negara lainya serta Indonedia ini.
Melihat dengan persoalan ini, kata Gobai, maka ini ada tiga pemangku kepentingan dengan perusahaan berunding diantanya (1.) kepentingan Negara Indonesia adalah Bupati, Gubernur dan Presiden, (2.) Kepentingan Pekerja adalah wadah SPKEP SPSI Kabupaten Mimika, yang sudah umur 40 tahun bermitra dengan Perusahaan PTFI/FM dalam perjanjian kesepakatan bersama (PKB-PHI) kedua belah pihak antara pihak perusahaan dan setikat Pekerja SPSI, dan (3.) Kepentingan Ulayat Lemasa, lemasko, Lemasmo dan berkoordinasi tujuh wilayah adat Papua.
Ia bermaksud dengan itu, agar duduk berunding bersama dengan pihak pemegang saham PTFI/FM. Karena menurutnya, perusahaan ini dikelola SDA sebelum Indonesia merdeka dari belanda.
Menurutnya, kalau begitu apa dasarnya PHK bagi pekerja Kontraktor dan Sub Kontraktor, dirumahkan bagi pekerja Freeport dan Privatisasi.
“Memang selama 50 tahun kelola kekayaan alam emas, tembaga, perak dan sebagainya di atas tanah Papua secara bisnis perusahaan dan mendapat hasilnya dan nilai berapa dari kekayaan diatas tanah Papua dan benar-benar bangkrut disertakan dengan bukti surat auditor independen Internasional,”ungkapnya.
Lanjutnya, Perusahaan PT. Freeport Indonesia, Privatisasi, Kontraktor dan sub Kontraktor di Wilayah Kerja Kontrak Karya PTFI seharusnya tak boleh lagi melakukan PHK terhadap pegawainya. Terlebih, bila PHK itu hanya berdalih embel-embel demi efisiensi perusahaan.
Hal ini sesuai dengan penilaian dari mantan hakim Mahkamah Konstitusi yang menilai bahwa pemutusan hubungan kerja dengan dalih reorganisasi dan efisiensi merupakan perbuatan melawan hukum dan bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 19/PUU-IX/2011 yang membatalkan bunyi Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (2) yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
“Kasus PHK dengan alasan efisiensi sangat banyak terjadi di Indonesia. Banyak pihak pengusaha maupun pekerja/buruh yang salah mengartikan PHK dengan alasan efisiensi,”bebernya.
Kata, Ketua Pimpinan Cabang SPKEP SPSI Kabupaten Mimika itu, Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara pasal 164 ayat (3) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur seputar Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa PHK hanya sah dilakukan setelah perusahaan tutup secara permanen dan sebelumnya perusahaan melakukan sejumlah langkah terlebih dahulu dalam rangka efisiensi.
Dalam pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan tersebut menyatakan, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (Force Majeur), tetapi perusahaan melakukan efisiensi dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 15 ayat (4).” Perusahaan harus memberi tahu karyawan sebelum PHK dilakukan dan alasan PHK. Pada perusahaan tertentu, pemberitahuan ini dilakukan 30 hari sebelum PHK.
“Setelah memberitahukan kepada karyawan, perusahaan harus mendapatkan izin dari instansi Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industral sebelum melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK),”jelasnya.
Gobai menjelaskan lagi, PHK merupakan pilihan terakhir sebagai upaya untuk melakukan efisiensi perusahaan setelah sebelumnya dilakukan upaya-upaya yang lain dalam rangka efisiensi tersebut. Berdasarkan hal itu, perusahaan tidak dapat melakukan PHK sebelum menempuh beberapa upaya. Upaya-upaya tersebut telah pula ditentukan oleh MK.
“a. mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur; b. mengurangi shift; c. membatasi/menghapuskan kerja lembur; d. mengurangi jam kerja; e. mengurangi hari kerja; f. meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu; g. tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya; serta h. memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat,”Ungkapnya.
Secara jelas, lanjutnya, MK menyatakan, perusahaan hanya bisa memilih jalan PHK bila perusahaan tersebut tutup permanen. Dengan kata lain, perusahaan yang hanya tutup sementara tidak boleh memecat pegawainya.
Hal ini menurtunya, pernah juga disampaikan Mantan Ketua MK, Mahfud MD, bahwa alasan efisiensi saja tidak dapat dijadikan alasan PHK.
Liputor : Alexander Gobai
Posting Komentar