(Foto: Dok. Prib Yeimo/KM) |
Oleh: Mecky Yeimo
Artikel, (KM). Selain kompleksitas sejarah dan manipulasi status politik, ingatan kekerasan dan penderitaan adalah persoalan akut dan paling membekas dalam sejarah kekerasan dan ingatan penderitaan rakyat Papua. Ingatan sosial kejahatan kemanusiaan yang dilakukan pemerintah Indonesia melalui aparat TNI/Polri diwariskan secara turun-menurun tumbuh menjadi “ingatan penderitaan Bangsa Papua” dan dasar gerakan pembebasan bangsa Papua.
Namun, ingatan penderitaan ini ditutupi oleh rezim otoritarian negara. Ingatan sosial kekerasan dan penderitaan rakyatnya adalah sebuah ancaman serius yang distigma “separatis”, “terbelakang”, “barbar” dan “tidak berbudaya” untuk membenarkan tindakan kekerasan dan diskriminasi.
Memori subyektif rakyat Papua tentunya menjadi ancama serius bagi stabilitas “keamanan dan ketertiban” yang dibangun negara. Setiap rezim otoriter/totaliter senantiasa memandang memori sebagai ancaman serius. Sebab, memori yang diartikulasikan secara publik bisa membuat segala bentuk kekerasan politik yang dilakukan rezim itu menjadi tampak telanjang. Itulah sebabnya rezim yang demikian senantiasa berusaha membungkam atau memutarbalikkan memori tentang kejahatan atas kemanusiaan. Dengan teknik pengendalian ingatan semacam ini, penguasa melakukan normalisasi kebohongan, yang dilakukan sedemikian rupa sehingga kebohongan itu diterima sebagai “kebenaran”.
Di Tanah Papua, sudah menjadi pemandangan umum bahwa aparat TNI/Polri akan jauh melebihi guru-guru dan tenaga kesehatan. Sekolah-sekolah dan Puskesmas akan tampak lengang karena kekurangan tenaga atau meninggalkan tugas, sementara aparat keamanan dan pos-pos penjagaan tidak terhitung jumlahnya. Wilayah-wilayah dimana kehadiran TNI dan/atau Polri amat dominan biasanya rentan mengalami konflik dan bentrokan antara rakyat, gerakan perlawanan, dan aparat keamanan. Wilayah itu mencakup wilayah perbatasan RI–PNG, jalur pegunungan Tengah (Paniai sampai Pegunungan Bintang), wilayah-wilayah yang memiliki eksploitasi sumber alam yang kaya seperti Teluk Bintuni dan Timika.
Rentetan panjang sejarah pelanggaran berat HAM telah mendorong masyarakat Papua untuk menamai perasaan dan pengalaman tak dilindungi dengan istilah genosida. Istilah ini sebenarnya adalah istilah hukum HAM internasional dari Konvensi PBB tentang Genosida tahun 1948 untuk menamai kejahatan terhadap kemanusiaan yang paling serius setara dengan kejahatan perang. Intinya adalah tindak kejahatan yang secara sengaja dan terencana berniat membasmi sebagian atau seluruh kelompok masyarakat, suku, ras atau agama. Meski secara teknis hukum, genosida yang berkembang di Papua belum memenuhi syarat-syarat yang amat ketat terutama mengenai motif dan kebijakan negara serta jumlah korban, tetapi inti perasaan dan terlebih pengalaman tak terlindung makin hari makin kuat. Hak hidup orang Papua makin sulit dijamin ditambah lagi jumlahnya yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan seluruh penduduk Indonesia. Kini perbandingan antara pribumi dan pendatang hampir sama, yakni 58% : 42%. Umumnya, pendatang menguasai sektor ekonomi menengah ke atas dan secara geografis, mendiami wilayah perkotaan; sementara pribumi Papua umumnya tidak memiliki akses ke sektor ekonomi/bisnis serta lebih banyak tinggal di wilayah pedalaman. Perasaan dan pengalaman terpojok, tersudut, dan tak terlindung inilah yang menjadi sumber gerakan perlawanan rakyat Papua.
Memoria passionis adalah suatu ingatan masa lalu yang tak bisa lupa dari ranah kehidupannya karena pengalaman suatu peristiwa yang menyakitkan fisik maupun psikis dan ceritanya diingat oleh generasi ke generasi. Rentetan peristiwa kemanusiaan (violence) seperti inilah yang menjadi ingatan penderitaan kolektif bagi bangsa Papua. Sejarah kekerasan itulah yang disebut dengan memoria passionis dengan mengambil istilah dari seorang teolog Johan Baptist Metz. Memoria passionis mengacu pada kenangan akan trauma akibat kekerasan terbuka dan marginalisasi EKOSP secara umum di Papua.
Dalam sejarah Indonesia, pada zaman pemerintah Soeharto, Propinsi Papua dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM), sehingga banyak kali terjadi dan sampai saat ini wilayah Papua daerah Operasi Militer yang dilakukan oleh ABRI atau sekarang disebut TNI. Pada tanggal 1 Mei 1963, pemerintah Indonesia menempatkan TNI dalam jumlah besar di seluruh Tanah Papua dan dilakukan operasi besar-besaran terjadi dan menewaskan rakyat Papua dalam jumlah besar.
(Penulis adalah Aktivis Papua, Sekjend 1 KNPB Pusat)
Editor: Frans Pigai
Posting Komentar