(Foto: Dok. Prib/KM) |
Opini, (KM). Seiring kedatangan Jokowi ke Papua kemarin, penyamarataan harga BBM dan elektrifikasi Papua tiba-tiba saja melenyapkan isu-isu pelanggaran HAM dan segudang masalah yang timbul akibat proyek-proyek infrasturisasi Papua yang dijalankan tanpa mendengar aspirasi masyarakat Papua.
Pemerintahan Jokowi-JK dan militer mungkin berpikir bahwa masalah pelanggaran HAM di Papua, perampasan tanah-tanah adat untuk kepentingan bisnis, penyingkiran penduduk asli Papua dari tanah-tanah mereka, pembiaran penyakit mematikan, hingga aspirasi untuk merdeka, tidaklah penting untuk direspon.
Mereka pikir, dengan membangun transportasi dan memberikan bensin murah, maka rakyat Papua akan melupakan penderitaannya selama bertahun-tahun lamanya itu. Mereka pikir, orang-orang Papua yang terhina dan teraniaya selama ini, bisa dibungkam dengan proyek-proyek infrastruktur itu. Jika begitu cara berpikir dan bertindak pemerintahan Jokowi-JK dan militer, maka mereka salah besar.
Pembunuhan hak asasi orang asli Papua dalam bentuk teror, intimidasi dengan stingma yang meliputi: Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Gerakan Pengacau Liar (GPL), Gerakan Papua Merdeka (OPM), Gerakan Separatis, gerakan membuat makar, Gerakan Separatis Bersenjata (GSB) adalah surat ijin Tentara dan Polisi Republik Indonesia untuk mengejar, menangkap, memenjarakan, menyiksa, memperkosa, menculik dan membunuh orang-orang asli Papua. Labelisasi seperti ini sangat efektif dan efisien yang dipakai atau digunakan aparat militer dalam menciptakan rasa ketakutan dan mempolarisasikan watak dan mental orang asli Papua.[1]
Adapun istilah-istilah lain yang di dengar lebih indah dan halus, tetapi itu bagian internal bagian yang tak terpisakan dari pembunuhan karakter, mental dan kenyataan intelektual, potensi, karunia dan talenta yang diberikan oleh Tuhan kepada orang-orang asli Papua. Istilah-istilah itu meliputi: terbodoh, terbelakang, termiskin, tertinggal, primitif, kanibal, belum bisa, belum maju, tukang mabuk. Yang paling menyakitkan lagi adalah istilah primitif dan kanibal.
Adapun pembunuhan karakter, mental orang asli Papua adalah dibedakan orang pedalaman dan orang pantai (politik adu-domba). Orang pedalaman dinilai sebagai orang yang belum maju dan dianggap manusia kelas ke dua dari masyerakat Papua yang berada di pesisir pantai. Iklim yang tidak sehat ini diciptakan sengaja oleh bangsa Indonesia untuk menghancurkan kebersamaan dan keutuhan orang melanesia yang berada, hidup dan berkarya di tanah Papua Barat.[2]
Pembunuhan dan penghancuran hak asasi manusia, karakter, martabat dan hidup orang-orang asli Papua adalah sebagai proses pengadilan yang dilakukan oleh hakim-hakim dan penganut hukum orang-orang Indonesia terhadap orang asli Papua, salah satunya pembunuhan karakter melalui infrastruktur di Papua.
Orang-orang Papua selalu dikatakan bagian dari orang-orang Indonesia tetapi tidak pernah mendapat keadilan dalam hidup ini. Orang Papua ditangkap dan diadili tetapi tidak pernah membuktikan kesalahan mereka. Mereka selalu mengatakan anggota separatis, makar dan OPM. Kata separatis, makar dan OPM adalah alat pembenaran untuk membungkam orang-orang Papua dalam perjuangan dan pembelaannya.
Orang-orang Papua di penjarakan bertahun-tahun tampa peradilan dan pembuktian yang adil, benar dan jujur. Hukum Rimba berlaku di tanah Papua. Hukum Indonesia yang diterapkan di tanah Papua Barat memang amat diskriminatif. Hukum Indonesia yang berlaku terhadap umat di tanah Papua Barat benar-benar hukum yang menindas dan membunuh orang-orang asli Papua.
*) Penulis Pumula adalah Mahasiswa Papua, Kuliah di Tanah Kolonial Indonesia - Surabaya
Sumber referensi:
[1] Yoman Sofyan Socratez. Pemusnahan Etnis Melanesia, Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan Di Papua Barat. Jayapura/Numbay, Papua Barat. Cenderawasih Press. 2012. Hlm. 180.
[2] Ibid, hlm. 181
(kabar-mapega.com)
Pemerintahan Jokowi-JK dan militer mungkin berpikir bahwa masalah pelanggaran HAM di Papua, perampasan tanah-tanah adat untuk kepentingan bisnis, penyingkiran penduduk asli Papua dari tanah-tanah mereka, pembiaran penyakit mematikan, hingga aspirasi untuk merdeka, tidaklah penting untuk direspon.
Mereka pikir, dengan membangun transportasi dan memberikan bensin murah, maka rakyat Papua akan melupakan penderitaannya selama bertahun-tahun lamanya itu. Mereka pikir, orang-orang Papua yang terhina dan teraniaya selama ini, bisa dibungkam dengan proyek-proyek infrastruktur itu. Jika begitu cara berpikir dan bertindak pemerintahan Jokowi-JK dan militer, maka mereka salah besar.
Pembunuhan hak asasi orang asli Papua dalam bentuk teror, intimidasi dengan stingma yang meliputi: Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Gerakan Pengacau Liar (GPL), Gerakan Papua Merdeka (OPM), Gerakan Separatis, gerakan membuat makar, Gerakan Separatis Bersenjata (GSB) adalah surat ijin Tentara dan Polisi Republik Indonesia untuk mengejar, menangkap, memenjarakan, menyiksa, memperkosa, menculik dan membunuh orang-orang asli Papua. Labelisasi seperti ini sangat efektif dan efisien yang dipakai atau digunakan aparat militer dalam menciptakan rasa ketakutan dan mempolarisasikan watak dan mental orang asli Papua.[1]
Adapun istilah-istilah lain yang di dengar lebih indah dan halus, tetapi itu bagian internal bagian yang tak terpisakan dari pembunuhan karakter, mental dan kenyataan intelektual, potensi, karunia dan talenta yang diberikan oleh Tuhan kepada orang-orang asli Papua. Istilah-istilah itu meliputi: terbodoh, terbelakang, termiskin, tertinggal, primitif, kanibal, belum bisa, belum maju, tukang mabuk. Yang paling menyakitkan lagi adalah istilah primitif dan kanibal.
Adapun pembunuhan karakter, mental orang asli Papua adalah dibedakan orang pedalaman dan orang pantai (politik adu-domba). Orang pedalaman dinilai sebagai orang yang belum maju dan dianggap manusia kelas ke dua dari masyerakat Papua yang berada di pesisir pantai. Iklim yang tidak sehat ini diciptakan sengaja oleh bangsa Indonesia untuk menghancurkan kebersamaan dan keutuhan orang melanesia yang berada, hidup dan berkarya di tanah Papua Barat.[2]
Pembunuhan dan penghancuran hak asasi manusia, karakter, martabat dan hidup orang-orang asli Papua adalah sebagai proses pengadilan yang dilakukan oleh hakim-hakim dan penganut hukum orang-orang Indonesia terhadap orang asli Papua, salah satunya pembunuhan karakter melalui infrastruktur di Papua.
Orang-orang Papua selalu dikatakan bagian dari orang-orang Indonesia tetapi tidak pernah mendapat keadilan dalam hidup ini. Orang Papua ditangkap dan diadili tetapi tidak pernah membuktikan kesalahan mereka. Mereka selalu mengatakan anggota separatis, makar dan OPM. Kata separatis, makar dan OPM adalah alat pembenaran untuk membungkam orang-orang Papua dalam perjuangan dan pembelaannya.
Orang-orang Papua di penjarakan bertahun-tahun tampa peradilan dan pembuktian yang adil, benar dan jujur. Hukum Rimba berlaku di tanah Papua. Hukum Indonesia yang diterapkan di tanah Papua Barat memang amat diskriminatif. Hukum Indonesia yang berlaku terhadap umat di tanah Papua Barat benar-benar hukum yang menindas dan membunuh orang-orang asli Papua.
*) Penulis Pumula adalah Mahasiswa Papua, Kuliah di Tanah Kolonial Indonesia - Surabaya
Sumber referensi:
[1] Yoman Sofyan Socratez. Pemusnahan Etnis Melanesia, Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan Di Papua Barat. Jayapura/Numbay, Papua Barat. Cenderawasih Press. 2012. Hlm. 180.
[2] Ibid, hlm. 181
(kabar-mapega.com)
Posting Komentar